Rabu, 11 Maret 2015


“Tandur” merupakan istilah dalam pertanian masyarakat Subang yaitu singkatan dari bahasa sunda“Tanam Mundur”(Tandur). Tandur adalah suatu cara dalam menanam padi di sawah dengan lahan basah atau sawah irigasi. Kabupaten Subang memiliki lahan subur dan aliran sungai yang cukup banyak, menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan untuk pertanian. Kabupaten Subang merupakan salah satu daerah penyandang predikat lumbung padi nasional sebagaimana diungkapkan oleh Anggara dan Prasetyo (2009: 1) bahwa:
Pada tahun 2007, Kabupaten Subang menyumbangkan produksi padi hingga 1.020.606 ton terhadap stok padi nasional. Produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan basah (1.015.695 ton) dan sisanya dari ladang. Luas lahan yang digunakan seluruhnya mencapai 84.701 ha dan lahan kering 120.475 ha.
Hal tersebut juga disebutkan oleh Breman dan Wiradi (2004:29) bahwa masyarakat Kabupaten Subang mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani:
Subang Utara terletak di dataran yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat. Dikelilingi sawah tempat orang menanam padi hampir sepanjang tahun…yang penduduknya selama berabad-abad hidup dalam komunitas dan menggantungkan hidupnya terutama atau bahkan sepenuhnya pada usaha bercocok tanam.
Berbicara mengenai masalah pertanian kita tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun di mulai dari zaman Peradaban Mesopotamia yang berada diantara sungai Eufrat dan Tigris pada tahun 4000 SM sampai pada zaman globalisasi dewasa kini. Tandur biasanya dilakukan setelah pengolahan tanah selesai dengan menggunakan tenaga mesin traktor dan diratakan dengan sosorong oleh buruh tani dalam sistem ceblokan. Tandur dikerjakan oleh para petani wanita setelah di cetak dengan menggunakan caplakan. Jarak tanam antara benih padi berusia 15-20 hari ini sekitar ±25cm-30cm.
Sejarah Inovasi Teknik Tandur
Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Indonesia terutama di Subang Jawa Barat masih menggunakan teknik tradisional dengan cara di aseuk atau ngaseuk(menanam benih setelah tanah dilubangi dengan batang kayu/tongkat). Ngaseuk masih dilakukan sampai sekarang akan tetapi untuk menanam benih padi sudah tidak lagi menggunakan aseuk terkecuali menanam padi varietas huma di lahas sawah tadahujan. Menurut sejarah teknik ngaseuk ini dilarang oleh pemerintah kolonial militer Jepang pada masa Penjajahan Jepang di Indonesia, dan digantilah dengan sistem menurut garis lurus jarak antar bibit padi 20 cm. Hal ini ditujukan untuk mengatasi rendahnya tingkat produktivitas padi. Kurasawa (1993:8-9) dalam bukunya Mobilitas dan Kontrol memaparkan bahwa:
Di jawa sebelum perang, petani menanam padi secara acak (tidak menurut garis lurus) di sawah, dan Jepang menemukan bahwa hal itu merupakan salah satu sebab rendahnya tingkat produktivitas padi. Mereka memerintahkan petani untuk mengikuti cara Jepang. Setelah serangkaian percobaan yang dilakukan oleh para insinyur pertanian Jepang, ditemukan bahwa jarak tanam yang ideal diantara bibit dari kebanyakan daerah Jawa, dengan tatanan lingkungannya serta bagi jenis padi yang ada, ialah 20 cm.
Cara tanam ini dilakukan dengan berjalan membungkuk mundur oleh karena itu disebut tandur, cara ini dilakukan agar benih padi yang telah ditanam tidak terinjak oleh kaki petani yang menanamnya, cara menanamnya yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah memegang pangkal batang dekat akar benih lalu ditancapkan ke dalam tanah. Ada juga yang dilakukan dengan berjalan membungkuk kedepan, akan tetapi penamaan ini tidak berubah masih tetap saja tandur. Benih padi tersebut ditanam diantara pertemuan garis lurus yang memanjang dan memotong pada satu petak sawah, sehingga tampak rapih dan berbaris sesuai dengan garis caplakan. Menurut pengakuan saksi sejarah kepada penulis, Jusih (84 tahun) mengatakan bahwa:
Keur jaman Jepang mah tandur teh make awi teu aya caplakan. Jadi nuturkeun bukuan awi. Pernah bapa ema dijabokan ku Jepang gara-gara teu nurut melak pare na teu dijajarkeun da bapa ema mah make aseuk. [Pada jaman Jepang, tandur menggunakan bambu karena belum ditemukan caplakan / alat untuk memberi jarak tanam di sawah. Jadi menanam padi dengan mengikuti ruas bambu. Pernah bapak nenek ditampar dan dihukum oleh orang Jepang karena menanam padi tidak mengikuti perintah Jepang / disejajarkan dikarenakan bapa nenek masih menggunakan aseuk].
Petani yang sudah lama menggunakan teknik ngaseuk pada masa kolonial Belanda mendapatkan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan aturan pemerintah Jepang. Akan tetapi pada kenyataannya inovasi teknik tersebut membuahkan hasil bahkan sampai hari ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat yang ada di Seluruh Indonesia. Pada masa Penjajahan militer Jepang, “petani menduduki status peringkat kedua (setelah samurai)” Kurasawa (1993:21). Secara teoritis petani pada masa itu menikmati kedudukan yang lebih tinggi daripada pedagang dan pengrajin, sekalipun kedudukan ekonomi mereka sesungguhnya yang terendah.

sumber : http://www.sub12.kawunganten.com/2013/05/tandur-sistem-tanam-padi-warisan.html

Tutunggulan

kesenian khas Jawa Barat, tutunggulanMungkin kamu belum pernah pernah mendengar mengenai seni Buhun Tutulungan yang lebih dikenal dengan nama tutunggulan ini. Salah satu kesenian khas Jawa Barat ini berasal dari masyarakat Desa Wanayasa, Kecamatan Wanayasa, yang berada di Kabupaten Purwakarta.
Aktifitas penduduk utamanya yang dikerjakan oleh para ibu di sana yakni menumbuk padi dengan lisung atau alat penumbuk padi. Dari kegiatan yang merupakan kebiasaan tersebut maka menjadi awal dari lahirnya kesenian khas Jawa Barat ini dengan nama Tutunggulan.
Kata Tutulungan berasal dari kata nutu dengan arti menumbuk, namun biasanya berupa gabah untuk diolah menjadi beras, atau menjadi tepung. Menariknya dahulu seni khas ini diselenggarakan untuk menarik perhatian warga supaya dapat menghadiri acara musyawarah di balai desa. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kesenian ini menjadi suatu acara khas untuk menyambut tamu, atau pada upacara tertentu.
Oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata, seni ini kemudian dimasukkan dalam suatu acara adat yang dilestarikan dan dikembangkan. Upaya yang sudah dilakukan seperti meningkatkan pelatihan khususnya dalam lingkungan Desa Wanayasa, dan mengikuti lomba kesenian tiap tahunnya.
Hal ini semakin meningkatkan rasa tertarik warga hingga wisatawan dalam dan luar negeri. Semua kalangan juga diikut sertakan dalam acara kesenian ini, seperti anak-anak hingga yang telah berusia lanjut. Menjadikan animo masyarakat semakin banyak dan menarik perhatian para traveller yang ingin ikut serta.
Pelaksanaan Tutunggulan ini tidak hanya di Wanayasa, namun juga dilaksanakan di Desa Sekarwangi, Bahkan acara kesenian khas Jawa Barat ini juga merupakan salah satu pengisi acara kebudayaan mereka sendiri, yaitu Gebyar Sekarwangi. Sangat menarik jika tiap daerah mempunyai acara kesenian rutin yang menampilkan kesenian khas mereka.
sumber : http://travelblog.ticktab.com/2014/08/15/tutunggulan-acara-kesenian-menumpuk-padi-khas-jawa-barat/

SINTREN 2

Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas,Kabupaten Kuningan, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan namalais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis.
Sintren merupakan gabungan dari dua suku kata.“Si” dan “Tren” Si artinya Ia, sedangkan Tren artinya putri. Putri. Jadi Sintren berarti si putri. Putri merupakan pemeran utama dalam pementasan Sintren.
Sejarah sintren berawal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi RantamsariRaden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib. Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan Sintren sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci.
Bentuk penyajian sintren ini terbagi menjadi tiga, yaitu pra pertunjukan, dupan, dansintren. Pada tahap pra pertunjukan, pengiring mulai memainkan gamelan yang bermaksud untuk memanggil penonton. Setelah itu, dilanjutkan dengan Dupan, yaitu tahapan dimana pawang meminta doa untuk keselamatan. Tahap terakhir adalah Sintren yaitu, tahap dimana pawang membawa calon penari bersama empat dayang lainnya.
Tahapan untuk menjadi Sintren ini, pertama Pawang memegang kedua tangan calon penari, lalu diletakkan diatas asap kemenyan, lalu calon penari diikat dengan tali di seluruh tubuh. Setelah itu, calon penari dimasukan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama dengan busana sintren dan perlengkapan make up. Selanjutnya, setelah ada tanda (kurungan bergoyang), kurungan dibuka, sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari.
Di dalam kesenian Sintren ini ada suatu istilah yaitu Balangan, yaitu situasi saat penari Sintren sedang menari, lalu penonton ada yang melempari sesuatu ke arah sintren. Setiap terkena lemparan, penari sintren akan jatuh pingsan. Selain itu, ada juga istilah Temohan yaitu dimana penari sintren dengan tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang.
Untuk busana penari, busana yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu, busana saat sebelum melakukan pertunjukan yaitu pakaian sehari – hari dan busana saat menari, yaitu baju golek, sampur, kain, kacamata, dll.
Alat musik yang digunakan dalam kesenian Sintren ini adalah bumbung besar. Namun, karena adanya perkembangan zaman, alat music menjadi lebih modern. Pengiring sudah banyak yang memakai gamelan, bahkan organ tunggal.
Waktu yang tepat untuk menampilkan Pertunjukan Sintren adalah pada saat malam hari di bulan purnama atau pun di malam jumat kliwon.
Fungsi dari adanya kesenian Sintren ini adalah sebagai sarana hiburan masyarakat yaitu, Apresiasi seni dan nilai-nilai estetik masyarakat., digunakan untuk keperluan upacara-upacara ritual seperti : bersih desa, sedekah laut, upacara tolak bala, nadzar, ruwatan dan pernikahan. Selain itu juga untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar, seperti hari ulang tahun kemerdekaan, hari jadi

sumber : http://pandoe.rumahseni2.net/nusantara/sunda/sintren/
Kesenian Ebeg merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional yang terkenal di Banyumas dan sekitarnya. Bentuk kesenian tarian tradisional yang menggunakan properti kudakepang ini menggambarkan kegagahan prajurit berkuda. Ebegpada umumnya berjumlah delapan penari pria. Dalam pertunjukannya,Ebeg biasanya dilengkapi dengan penari topeng yang disebut penthul,cepet dan barongan (seperti sapi yang dimainkan oleh dua orang) sertasintren yaitu penari pria yang berdandan seperti wanita di dalam sebuah kurungan atau dengan ditutupi kain hitam. Semua pemain Ebegdalam pertunjukannya mengalami in trancePertunjukan tari Ebeg Banyumas biasanya diiringi dengan alat musik yang disebut Bendhe, Alat musik ini memiliki ciri fisik seperti gong akan tetapi berukuran lebih kecil terbuat dari logam. atau bisa juga dengan menggunakan alat musik gamelan atau calung, hingga sekarang calung masih berkembang di hampir seluruh wilayah kultur Banyumas.
 
Menurut beberapa sumber sejarah, tari Ebeg Banyumas ini sudah ada sejak zaman purba tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu buktinya adalah adanya bentuk-bentuk in trance (kesurupan) atau wuru. Bentuk-bentuk seperti ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.
 
Dalam tiap pementasan biasanya akan disajikan sebuah tarian lengger yaitu tari ilogondang, yang dilanjutkan dengan tari prajuritan. Pada tari prajuritan inilah biasanya penari akan melalui satu adegan yang unik yang biasanya ditempatkan ditengah ataupun diakhir pertunjukan tergantung dari masing-masing grupEbeg. Atraksi tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa Banyumasan dengan istilah mendhem(kerasukan). Pemain akan kesurupan dan mulai melakukan atraksi-atraksi unik, seperti makanbeling (pecahan kaca), makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, bergaya seperti monyet, ular dan banyak lagi jenis atraksi ekstrim lainnya.
 
Seperti yang dikatakan Bapak Eko ketua kesenian tradisional Ebek Satria Kencana asal Grumbul Jongkeng, Desa Banjar Parakan, Kecamatan Rawalo, Banyumas, fenomena mendhem (kerasukan) ini dikarenakan sipenari memiliki indang atau arwah yang merasuki ketika lagu eling-eling mulai dinyanyikan, jadi bentuk atraksi-atraksi unik dan ekstrim yang dilakukan oleh sipenari Ebeg itu tergantung pada indang yang dimiliki atau yang merasukinya.
 
"Tiap-tiap penari atau indang ketika gending dan lagu eling-eling dimainkan akan melakukan tarian dan gerakan atau atraksi yang berbeda-beda sesuai dengan karakter indang yang merasuki sipenari Ebeg", Jelasnya. Begitu pula dengan atraksi atraksi makan beling, rumput dedek, ayam hidup dan lainnya semuanya tergantung dari permintaan si indang.
 
Gerakan tari dan atraksi yang dilakukan oleh pemain Ebeg memang sepenuhnya dikendalikan oleh indang yang merasukinya, tapi, lanjutnya, sipenari juga bisa mencegah indang yang merasukinya untuk tidak melakukan atraksi-atraksi yang menurutnya berbahaya. Seperti contoh penari yang memiliki indang keraatau monyet. Ketika akan menjalankan pagelaran biasanya si pawang atau ketua rombongan akan menawarkan adegan manjat bambu ataupun sejenisnya kepada sipenari, ketika sipenari menolak untuk melakukan atraksi tersebut, saat pementasan indang kera yang merasukinya juga tidak akan melakukan atraksi panjat bambu tersebut. Begitu juga dengan penari penari Ebeg lainnya.
 
Menurutnya, untuk memperoleh indang penari ebeg harus menjalani laku tirakat ketempat-tempat keramat yang dipercaya sebagai tempat indang-indang bersemayam, lewat sang juru kunci, sipenari akan menerima ajaran-ajaran untuk mendapatkan indang yang diinginkan. Bukan hanya penari saja yang mesti mencari indang, bahkan dalam seni pagelaran ebeg, alat musik yang dipake juga harus dibawa ketempat asal indang bersemayam, ini bertujuan agar saat alat musik tersebut dimainkan, suara yang dihasilkan akan cepat mengundang reaksi dari masing-masing indang,
 
Dalam perkembangannya, kesenian Ebeg sudah mengalami banyak perubahan dan fungsi, bukan hanya sebagai sarana ritual tapi sudah menjadi sebuah sarana pertunjukan. Maka tidaklah heran kalau saat ini banyak bermunculan gup-grup kesenian Ebeg hampir di seitiap wilayah di Banyumas. Menjamurnya kesenian Ebeg tentu saja banyak nilai positif yang bisa diambil yaitu mengentalkan dan melestarikan nilai budaya Banyumas. Bukan hanya menimbulkan dampak positif tentunya, dampak negatif yang terjadi adalah banyaknya penonton yang ikut mendem saat pagelaran Ebeg berlangsung. Memang tidak semua penonton yang melihat pertunjukan Ebeg akan ikut keserupan melainkan hanya mereka yang memiliki indang saja. Untuk menjaga hal-hal yang diinginkan inilah fungsi penimbul atau pawang sangat dibutuhkan untuk mengendalikan penari maupun penonton yang mendem.

sumber : http://www.tabloidpamor.com/berita-254-ebeg-banyumasan.html

Beluk

Tanggal  oleh Vande Leonardo
Kategori: Musik dan Lagu
Elemen Budaya: Musik dan Lagu
Provinsi: Banten
Asal Daerah: Serang
Beluk adalah seni suara dengan nada tinggi/melengking-lengking, biasanya terdiri dari 6, 8 atau 10 orang lebih, tergantung kebutuhan. Beluk tersebut mengikuti pupuh yang dibacakan oleh seorang juru baca. Seni ini dahulunya adalah sarana untuk memanggil-manggil tetangga yang berdekatan rumahnya, lama kelamaan berubah menjadi sebuah seni dengan suara yang tinggi. Seni Beluk ini oleh masyarakat biasanya dipakai/dipentaskan ketika malam khitanan, rasullan, pernikahan dan kegiatan keagamaan lainya. Dipadukan dengan suara bedug sehingga menghasilkan irama yang indah.

Kata beluk berasal dari kata ba dan aluk. Ba artinya besar dan aluk artinya 'gorowok' atau dalam bahasa Indonesia 'berteriak'. Berbeda dengan "nembang" atau seni suara yang lainnya, kesenian Beluk tidak 'menembangkan' atau menyanyikan syair yang digunakan, tetapi hanya membaca dengan memainkan tinggi-rendahnya frekuensi suara. Seni Beluk merupakan sajian sekar berirama bebas atau merdeka dengan ornamen surupan (nada dasar) tinggi melengking. Beluk pada hakekatnya merupakan kesenian tembang buhun (kuno) yang lebih mengutamakan dinamisasi tinggi rendahnya suara. Syair yang dilantunkan adalah jenis Wawacan (hikayat/cerita) yang dibawakan seperti kita jumpai dalam berbagai pupuh mulai dari pembukaan sampai pada penutupan seperti: Pupuh Kinanti, Asmaradana, Pucung, Dangdanggula, Balabak, Magatru, Mijil, Ladrang, dan sebagainya. Jenis wawacan yang disampaikan juru beluk tergantung apa yang dikuasainya seperti Wawacan Ogin, Rengganis, Babar Nabi, Barjah, Amungsari, Jayalalana, Natasukma, Mahabarata, Mundinglaya, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan sebagainya.

Salah satu maestro Beluk yang dilibatkan adalah Mang Ayi yang berasal dari kota Subang. Beliau adalah salah satu seniman tradisi Sunda yang multi talenta. Selain Beluk mang Ayi juga menguasai bentuk kesenian lain seperti pantun buhun, torompet, kacapi, suling dan juru kawih. Dia telah sering terlibat dalam berbagi proyek kolaborasi baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Menurut Mang Ayi seni beluk di daerah Subang pada awalnya diciptakan untuk dipergunakan memberikan perintah pada kerbau ketika membajak sawah. Para petani jaman dahulu ketika membajak sawah biasanya melantunkan beluk untuk mengarahkan laju dan gerakan kerbau. Pada perkembangan selanjutnya seni beluk dipakai pada berbagai upacara adat seperti seren taun (pesta panen).


Sumber: http://www.myspace.com/forgotten-official/blog/543527909
Kontributor Youtube : kampungseniyudhaasri
Kontributor Website : http://kampung-seni-yudha-asri.blogspot.com
Kontributor : Irfan Murdani
sumber : http://budaya-indonesia.org/Beluk-1/
beluk.jpg
SENI BUHUN 
Tasik Explorer di 94.6 FM Style Radio
Sahabat Style, Terebang Gebes merupakan salah satu seni pertunjukan buhun (tradisional) yang bernafaskan Islam. Awal keberadaannya sendiri diperkirakan sejak zaman perkembangan Hindu di Pulau Jawa (sekitar tahun 1800-an). Seperti halnya Terebang Gede yang ada di wilayah Banten, proses perkembangan Terebang Gebes di Tasikmalaya sejalan dengan penyebaran agama Islam di daerah tersebut.
Seni buhun yang masih hidup dan bertahan di Kampung Cirangkong Desa Cikeusal Kec. Tanjungjaya (pemekaran dari Kec. Sukaraja) Kabupaten Tasikmalaya ini, diperkirakan sudah berkembang sejak berdirinya Kabupaten Sukapura di bawah kepemimpinan Raden Wirawangsa yang berkedudukan sebagai Wiradadaha I.
Kesenian Terebang Gebes berkembang pesat di masa pemerintahan Raden Anggadipura I sebagai bentuk hiburan yang disukai masyarakat. Beliau merupakan pemimpin yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan sandang pangan masyarakat, tetapi juga sangat memperhatikan perkembangan seni budaya yang ada di wilayah Kabupaten Sukapura, termasuk Terebang Gebes.

Hal ini pula yang kemudian menyebabkan bermunculannya rombongan kesenian Terebang di wilayah Sukapura. Hingga saat ini, kelompok seni Terebang yang masih bertahan di Tasikmalaya hanya Terebang Rudat di Desa Cibalanarik, Kec. Tanjungjaya; Terebang Sejak di Kec. Salawu, serta Terebang Gebes juga Terebang Sejak yang ada di Desa Cikeusal, Kec. Tanjungjaya.

Alat Musik dan Tembang Seni Terebang Gebes

Tarawangsa merupakan waditra gesek tertua di Jawa Barat. Seni tarawangsa di Cibalong Tasikmalaya, dimainkan bersama dengan kecapi dan calung rantay, bahkan sekaligus dengan nyanyian (vokal) yang dibawakan oleh pemetik kecapi (wanita).

Tarawangsa biasa disebut rebab jangkung, karena bentuknya yang jauh lebih tinggi dari waditra rebab. Lagu-lagu yang dimainkan dengan tarawangsa dari Cibalong ini diantaranya “Pamapag”, “Lokatamala”, “Mulang’, dan “Manuk Hejo”.

Bagian-bagian tarawangsa antara lain, batang leher panjang dari batang kayu, rurumahan berbentuk segi empat panjang, bagian depannya rata, bagian belakangnya cembung, berlubang, dan berkaki di bagian bawah rurumah.

Tiga batang pureut, pucuk (bagian atas yang bentuknya seperti sanggul), inang, dan pangeset (penggesek) yang terdiri dari batang pengeset terbuat dari kayu dan serat nenas atau bulu kuda untuk tali penggeseknya.

Beluk salah satu tembang Sunda yang banyak mempergunakan nada-nada tinggi. Beluk dilakukan paling tidak empat orang. Setiap penyanyi berusaha menampilkan suara-suara yang paling nyaring, tinggi melengking serta eanak didengar, sebab itulah yang menjadi ukuran terbaik. Tidak dibantu dengan juru ilo, orang yang membacakan naskah wawacan. (KDKS - Style Radio)
sumber : http://www.stylefmtasik.com/artikel/tasikmalaya/267-seni-buhun-yang-masih-bertahan-di-kabupaten-tasikmalaya.html

Tari Ronggeng Gunung (Ciamis, Jawa Barat)

Asal-usul
Ciamis adalah suatu daerah yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama “Ronggeng Gunung”. Ronggeng Gunung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.

Ada beberapa versi tentang asal-usul tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Ciamis Selatan (masyarakat: Panyutran, Ciparakan, Burujul, Pangandaran dan Cijulang) ini. Versi pertama mengatakan bahwa Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh, Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling. Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan Sang Penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana. Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.

Versi kedua berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenasah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya. Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.

Versi ketiga yang ditulis oleh Yanti Heriyawati dalam tesisnya yang berjudul “Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat”. Versi ini menyatakan bahwa kesenian Ronggeng Gunung berkait erat dengan kisah Dewi Samboja (www.korantempo.com). Dewi Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang. Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya. Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri. Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Konon, ketika sempat menari bersamanya, Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.

Versi keempat mirip dengan versi ketiga, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak. direstui oleh ayahnya. Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisataPangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri.dan mengembara. Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Tanpa terasa, gunung-gunung telah didaki dan lembah-lembah dituruni. Namun, di matanya masih terbayang bagaimana orang yang dijadikan tumpuan hidupnya telah dibunuh para perompak dan kemudian mayatnya diarak lalu dibuang ke Samudera Hindia. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.

Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeulu datang deui

Singkat cerita, pergelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama.

Cerita mengenai asal usul tari yang digunakan untuk “balas dendam” ini membuat Ronggeng Gunung seakan berbau maut. Konon, dahulu orang-orang Galuh yang ikut menari menutup wajahnya dengan kain sarung sambil memancing musuhnya untuk ikut hanyut dalam tarian. Oleh karena wajah mereka tertutup sarung, maka ketika musuh mereka terpancing dan ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yang tepat untuk ditikamkan. Selain itu, dahulu kesenian Ronggeng Gunung bagi masyarakat Ciamis selatan, bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti: panen raya, perkawinan, khitanan, dan penerimaan tamu. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Sebagai catatan, dalam mitologi orang Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir mirip dengan Dewi Sri Pohaci yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani. Oleh karena itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran setelah panen.

Pemain, Peralatan, dan Pergelaran
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong dan kendang.
Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa 40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku, seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus seorang gadis atau janda.

Tari Ronggeng Gunung bisa digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru selesai menjelang subuh.

Perkembangan
Perkembangan Ronggeng Gunung pada periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam cara menghormat yang semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan, akhirnya cara bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang tertentu bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba dan sebagainya. Bahkan, kadang-kadang penari dapat dibawa ke tempat sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat, maka pada tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan untuk umum. Baru pada tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, baik dalam tarian maupun dalam pengorganisasiannya sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dapat dihindarkan.

Untuk mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yang hampir punah ini diterapkan peraturan-peraturan yang melarang penari dan pengibing melakukan kontak (sentuhan) langsung. Beberapa adegan yang dapat menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini merupakan suatu cara untuk menghilangkan pandangan dan anggapan masyarakat bahwa ronggeng identik dengan perempuan yang senang menggoda laki-laki. (ali gufron)

Foto: http://www.anjjabar.go.id

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://uun-halimah.blogspot.com/2008/03/ronggeng-gunung-ciamis-jawa-barat.html